RUU TNI Disahkan, Demokrasi di Ujung Tanduk atau Cuma Drama Politik?
Pada 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi Undang-Undang TNI yang bikin banyak pihak geleng-geleng kepala. RUU ini memungkinkan anggota militer aktif menduduki lebih banyak posisi sipil di pemerintahan. Bagi sebagian orang, ini dianggap langkah "strategis" untuk menghadapi tantangan geopolitik. Tapi, buat banyak anak muda khususnya Gen Z, ini kayak alarm bahaya: "Eh, kita balik lagi ke zaman Orba, nih?"
Pertanyaannya: Kenapa sih, RUU ini jadi kontroversial? Dan kenapa Gen Z harus peduli? Yuk, kita bedah satu-satu dari sudut pandang yang relate sama kita.
Jadi, revisi UU TNI ini secara garis besar memperluas peran militer di ranah sipil. Kalau sebelumnya militer cuma bisa duduk di jabatan tertentu yang berkaitan langsung dengan pertahanan (kayak BIN atau Kementerian Pertahanan), sekarang mereka bisa masuk ke lebih banyak posisi di lembaga pemerintahan lainnya.
Apa artinya?
Bayangin aja kalau nanti posisi strategis di kementerian atau badan pemerintahan diisi oleh mereka yang berlatar belakang militer aktif. Bukan berarti mereka nggak kompeten, tapi, apakah nggak ada anak muda atau profesional sipil yang lebih cocok? Apakah ini membuka jalan bagi militerisasi pemerintahan lagi?
Buat kita yang tumbuh di era digital, kebebasan berbicara dan berpendapat jadi hal penting. Nah, sejarah nunjukin kalau keterlibatan militer dalam urusan sipil sering kali bikin ruang demokrasi menyempit. So, kalau kita nggak aware, bisa jadi kita malah balik ke masa di mana kritik dibungkam dan transparansi jadi wacana belaka.
Kalau kamu pernah denger cerita dari orang tua atau baca sejarah, kamu pasti tahu bahwa di era Orde Baru (Orba), militer punya peran super dominan di pemerintahan. Kala itu, mereka bukan cuma urus pertahanan, tapi juga pegang banyak jabatan sipil, termasuk di bidang ekonomi, hukum, dan politik. Hasilnya? Kebebasan berpendapat terkungkung, kritik dibungkam, dan pelanggaran HAM merajalela.
RUU ini, meskipun diklaim untuk menghadapi tantangan geopolitik, terasa kayak gerbang yang perlahan membuka jalan bagi kembalinya dominasi militer. Buat kita yang biasa menikmati kebebasan di dunia digital, apakah ini jadi tanda kalau masa depan kebebasan berpendapat mulai terancam?
Sebagian orang mungkin mikir, "Ah, urusan politik mah buat yang tua-tua aja." Tapi nggak sesimpel itu. RUU ini bisa berdampak langsung ke masa depan kita. Kenapa?
-
Kebebasan Berpendapat di Ujung Tanduk: Kita udah lihat bagaimana undang-undang seperti UU ITE seringkali digunakan buat membungkam kritik. Kalau militer makin dalam di urusan sipil, siapa yang jamin suara kita tetap bebas?
-
Karier di Pemerintahan? Susah, Bos! Kalau posisi strategis diisi oleh personel militer, gimana dengan kesempatan bagi anak muda sipil yang mau berkarier di sektor publik? Kita bisa-bisa jadi penonton doang di negara sendiri.
-
Hak Asasi Manusia Terancam: Sejarah nunjukin, kalau militer terlalu dominan, isu-isu HAM sering kali dikesampingkan. Kita yang selama ini vokal tentang keadilan sosial, lingkungan, atau hak minoritas, bisa jadi target empuk buat dibungkam.
Nggak sedikit pihak yang angkat suara soal ini. Beberapa aktivis HAM menyebut revisi ini sebagai "langkah mundur demokrasi". Ada kekhawatiran bahwa kehadiran militer di jabatan sipil bisa mempersempit ruang kritik dan kebebasan sipil.
Sementara itu, beberapa akademisi memandang ini sebagai langkah yang bertentangan dengan semangat reformasi 1998, di mana waktu itu TNI dengan sadar menarik diri dari urusan sipil sebagai komitmen menuju demokrasi yang lebih sehat.
Pihak pemerintah berdalih bahwa revisi ini dibutuhkan karena tantangan geopolitik dan keamanan nasional yang makin kompleks. Mereka menilai militer yang terlibat di sektor sipil bisa memperkuat stabilitas negara di tengah situasi global yang nggak pasti.
Tapi, yang bikin kita patut curiga: Beneran soal stabilitas, atau ini cara untuk konsolidasi kekuasaan? Dengan makin besarnya peran militer di ranah sipil, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini nggak cuma soal keamanan, tapi juga soal kontrol politik.
Jangan cuma jadi penonton, bro! Kita bisa mulai ambil sikap dan terlibat secara kritis. Gimana caranya?
-
Edukasi Diri Sendiri dan Orang Lain: Baca dan pahami soal RUU ini. Diskusi di media sosial atau komunitas biar semakin banyak yang aware.
-
Tekan Para Pengambil Kebijakan: Jangan diam! Suarakan pendapat kita lewat petisi online, aksi damai, atau bahkan menghubungi wakil rakyat di DPR.
-
Dukung Media Independen: Media yang berani kritis dan independen penting buat menjaga transparansi. Kita bisa mendukung mereka supaya tetap bersuara.
-
Bangun Kesadaran Kolektif: Satu suara mungkin kecil, tapi kalau kita bersatu? Impact-nya bisa besar. Kolaborasi dan solidaritas jadi kunci.
Pengesahan RUU TNI ini bukan sekadar berita lewat di timeline. Ini adalah sinyal yang harus kita waspadai, karena dampaknya bisa langsung terasa di kehidupan kita sebagai generasi muda. Kalau kita nggak peduli dan diam aja, jangan kaget kalau suatu hari nanti kebebasan kita cuma jadi kenangan.
Jadi, apa kita mau biarin aja atau mulai bergerak? Your call!
Posting Komentar